Tuesday, May 2, 2017

SUAMIKU SEORANG GAY





          Aku anak perempuan satu-satunya dari lima bersaudara. Dalam urutan daftar kelahiran, aku merupakan anak bungsu. Karena ibuku tidak bisa melahirkan anak perempuan yang sangat didambakan ayah, kata ibu, ayahku sempat berniat menikahi janda muda yang ditinggal mati suaminya. Anak janda itu, dua orang perempuan semua dalam usia balita. Ayahku berharap, jika menikahi janda itu, kelak akan mendapat anak perempuan.
“Kalau anak kelima kita lahir laki-laki, aku berniat menikah lagi?” ancam ayah ketika itu.
Mendengar ancaman ayah, ibu sempat shock. Setiap malam, ibu mengerjakan sholat tahajud, shalat hajat, dan pagi hari mengerjakan sholat dhuha. Ibu bermunajat pada Allah, memohon dengan berurai air mata, agar anak kelima yang dilahirkannya nanti, berjenis kelamin perempuan.
Doa ibu yang tulus, akhirnya dikabulkan Allah SWT. Dokter kandungan yang memeriksa kesehatan janin, berdasarkan hasil USG, mengatakan bayi yang ibu kandung berjenis kelamin perempuan. Mendengar penjelasan dari dokter, ibuku merasa sangat bahagia sekali. Dia pun bertambah rajin ibadahnya.
Kata ayah, sejak bulan-bulan pertama ibu mengandung, ibu merasa ada makhluk yang senantiasa berada di dekatnya. Makhluk itu kuntilanak yang hendak mengambil bayi yang di kandung ibu. Menurut cerita ibu, di dalam kamar, ibu sering melihat penampakkan perempuan berbaju daster warna putih. Wajahnya pucat pasi dan rambutnya panjang tergerai hingga batas lutut kakinya. Bila melihat penampakann makhluk itu, ibu membaca ayat kursyi. Makhluk itu segera menghilang.
Nenekku menyarankan pada ibu, agar meletakkan gunting dan besi semberani di dekat pembaringannya. Pada mulanya ibu menolak saran dari nenek ini, karena memang dianggap hanya tahayul dan tidak rasional.
“Apa hubungannya besi semberani dan gunting dengan kuntilanak?” begitu pendapat ibu.
Tapi, kemudian ibu menuruti saja saran dari nenek. Ibu tidak ingin berdebat dengan nenek, dan ibu tidak ingin membuat perasaan hati nenek tidak tenang. Kata nenek, kuntilanak paling takut pada gunting dan besi berani.
Sejak kandungan ibu berusia tujuh bulan, nenek diminta ayah tinggal di rumah kami menemani ibu. Setiap hari ibu memeriksa, apakah gunting dan besi semberani berada di tempatnya. Kata ibu, meskipun di dalam kamarnya sudah diletakkan gunting dan besi semberani, namun dia masih sering melihat penampakkan kuntilanak seperti dilihatnya selama ini.
Kuntilanak itu berdiri di depan pintu kamar, dan kerap tersenyum memandang ibu. Pada waktu tengah malam, kata kakek tertuaku, kuntilanak itu kerap terlihat berayun-ayun di atas akar pohon beringin yang tumbuh di tengah kuburan sekitar tiga puluh meter dari rumah orangtuaku.
Menurut cerita Mbah Poniem, kakek tetanggaku yang tak jauh dari tempat tinggalku, kuntilanak itu adalah arwah penasaran perempuan bunuh diri. Karena dihamili ole mandor yang telah punya isteri dan beberapa orang anak. Sang mandor tidak bertanggung jawab. Karena tidak sanggup menanggung aib, si perempuan pun memilih bunuh diri dengan cara menggantung lehernya menggunakan kemben di dalam kamar tidurnya.
Rumah orang tuaku, menurut Mbah Poniem, tanah pertapakannya adalah bekas rumah perempuan malang itu. Bahkan menurutnya, di pas kamar tidur ibu adalah tempat si perempuan yang tidak diketahui namanya itu melakukan bunuh dirinya.
Ayahku memang seorang manejer lapangan di sebuah perkebunan milik pemerintah. Sebelum pindah ke Afdeling IV, ayahku bertugas di Afdeling V. Rumah dinas yang ditempati ayah di Afdeling IV, memang disebut-sebut sebagai rumah yang angker. Menurut ceritam tidak ada seorangpun berani menempatinya.  Malam hari, warga pondok yang kebetulan lewat di depan rumah itu, kerap melihat penampakkan perempuan yang yang bunuh diri itu. Meskipun keberadaannya tidak menteror warga setempat, tapi perasaan takut menghantui warga.
Arwah penasaran itu, kata Mbah Poniem, tidak pernah datang ke rumah mandor yang telah menghamilinya. Dia sangat mencintai sang mandor dan tidak ingin mengganggu kebahagiaan isteri dan anak-anaknya.
Mendekati hari kelahiranku, ayah meminta bantuan Mbah Sempeno, seorang dukun kampung di dekat rumah. Mbah Sempeno membuat pagar gaib mengelilingi rumah orangtuaku, dengan maksud agar tidak ada kekuatan makhkluk halus yang mengganggu prosesi persalinan ibu.
Menjelang kelahiranku, kata kakakku nomor duaku, dirinya melihat penampakkan bayangan putih berkelebat mengitari rumah. Bayangan itu hendak masuk ke dalam rumah, tapi tidak bisa. Kakak-kakakku yang lain juga ada yang melihatnya. Setelah berulangkali mengitari rumah mencari jalan untuk masuk, tapi tidak menemukannya, bayangan putih itu akhirnya pergi menjauh dari rumah orangtuaku. Tidak lama kemudian, suara tangis bayi terdengar dari dalam kamar. Itulah aku.
Sebagai anak satu-satuya perempuan dalam keluarga, aku memang sangat disayang dan dimanjakan oleh kedua orang tuaku. Masa kecilku penuh dengan kebahagianan.
Sekolah SD, hingga tamat SMA, aku tinggal bersama orangtua.  Setelah tamat SMA, aku diterima di Universitas Negeri di kota Medan. Aku kos di dekat kampus bersama teman satu jurusan yang berasal dari daerah Tapanuli. Di kampus, aku berkenalan dengan Andri, cowok bertampang flamboyan. Dia kakak kelasku di falkutas yang sama.
Andri dalam penilaianku, cowok yang baik dan pengertian. Dia tinggal bersama orang tuanya di kawasan elit kota Medan. Andri telah memperkenalkan diriku pada kedua orang tuanya sebagai calon pendamping hidupnya. Kedua orang tuanya merestui hubungan kami. Kepada kedua orangtuaku, Andri juga sudah kukenalkan. Kedua orang tuaku juga merestui hubungan cinta kami.
Suatu malam, Andri mengutarakan niat orangtuanya yang hendak segera melamarku. Alasan kedua orang tuanya, takut kami tidak bisa menjaga diri. Karena itulah kami disarankan bertunangan dulu, atau menikah sambil kuliah, nanti setelah tamat kuliah baru diadakan resepsi pernikahan. Begitu kata orangtua Andri.
Aku tidak bisa memberikan jawaban. Aku terlebih dahulu harus konsultasi pada kedua orang tuaku. Aku bisa memahami alasan ibu Andri, meskipun sebenarnya aku menginginkan setelah selesai kuliah, baru melangsungkan pernikahan.
“Jika menikah sambil kuliah, bagaimana jika melahirkan dan mengasuh anak. Kuliahku bisa terkendala,” bisik hatiku.
Lama aku termenung seorang diri dalam kamarku. Kebetulan malam itu teman satu kosku pulang ke kampung halamannya. Lamunanku buyar ketika mendengar suara seorang perempuan mengucapkan salam dan berulang kali mengetuk daun pintu.
“Siapa pula yang datang?” gumamku dalam hati, agak kesal.
Aku segera bangkit dari atas tempat tidur, dan berjalan menuju ruangan tamu. Dari balik kaca jendela, kulihat seorang gadis berbusana muslimah berdiri di depan pintu.
“Siapa dia?” Hatiku diliputi tanda tanya.
Pintu kubuka. Di hadapanku berdiri seorang perempuan berusana musilmah yang bersehaja namun tampak sangat anggun berwibawa. Wajahnya berseri-seri. Aku terkesima melihat kecantkan wajahnya yang sangat sempurna.
“Kamu siapa?” tanyaku.
“Aku Aisyah, teman Siti Maryam,” katanya.
Siti Maryam teman satu kosku yang tadi pagi pulang kampung. Tapi, dia tidak mengatakan temannya akan datang.
“Boleh aku menginap di sini?” tanyanya kemudian.
Aku ragu-ragu untuk mengiyakan. Siapa tahu dia perempuan jahat.
“Sebetulnya aku mau ke tempat keluarga, tapi angkot sudah tidak ada yang menuju ke sana,” tambahnya sambil tersenyum penuh keanggunan.
Toh, akhirnya aku mengangguk, sebab merasa kasihan padanya.
“Terima kasih!” cetusnya.
“Masuklah!” ajakku. Aisyah pun mengikutiku dari belakang, masuk ke dalam kamarku.
“Jam berapa sekarang?” tanyanya setelah kami tiba di dalam.
“Baru pukul 22.00!” sahutku.
Sejenak dia memandangi seluruh ruangan dalam kamar. Pandangan matanya berhenti menatap fotoku yang berduaan bersama Andri.
“Pemuda itu pacarmu, ya?” tanyanya seperti menyelidik.
“Iya!” jawabku.
“Hubungan kalian pasti baik-baik saja, bukan?”
Aku tersenyum. “Begitulah! Bahkan orang tuanya akan segera melamarku,” kataku berterus terang.
“Kau tidak akan bisa hidup bahagia jika menikah dengannya!” cetus perempuan itu, mengagetkanku.
“Kenapa?” tanyaku merasa sangat tersinggung. Aku benar-benar tidak menduga kalau sosok yang baru kukenal ini sepertinya ingin begitu jauh memasuki urusan pribadiku.
“Kau belum tahu jika Andri itu mencintamu di satu sisi, tapi di sisi lain dia sebenarnya lebih mencintai laki-laki. Ya, dia membutuhkan kasih sayang seorang lelaki,” jawabnya sambil terus menatapku.
Aku hanya menggelengkan wajahku, tapi dalam hati aku merasa sangat kesal padanya. “Sok tahu!” umpatku dalam hati.
“Maaf, kau bukan bermaksud ingin mencampuri urusan cintamu. Silahkan saja kau menuduhku sok tahu atau tuduhan-tudahabn lainnya,” lanjutnya seolah-olah Aisyah bisa membaca pikiranku.
“Aku tidak menuduhmu seperti itu. Bahkan, aku sangat berterima kasih padamu telah memberikan informasi tentang kelainan yang diderita Andri,” sahutku ramah, sambil berusaha menekan perasaan.
Sebagai tuan rumah, aku memang berusaha bersikap ramah. Meskipun dalam hatiku merasa sangat sebel padanya, tapi aku berusaha tetap sabar menghadapinya.
“Aku sarankan, sebaiknya kau putuskan saja hubungan cintamu dengannya,” sarannya.
Aku benar-benar terkejut dan sulit menerima kata-kata ini. Tapi, sekali lagi, sebagai nyonya rumah aku harus tetap menunjukkan sikap yang ramah.
“Bagimu mungkin sangat mudah berkata seperti itu. Tapi, aku sangat mencintainya. Selain itu, kedua orang tua kami juga sudah memberikan doa restu pada hubungan cinta kami. Jika tiba-tiba aku memutuskan hubungan cintaku secara sepihak, bagaimana aku akan menjelaskannya pada kedua orang tuaku dan kedua calon mertuaku?” ujarku sambil menahan diri.
“Jelaskan saja seperti yang kukatakan tadi?” sarannya, seperti mendesakku.
Aku terdiam. Mengapa wanita ini banyak tahu tentang Andri? Atau, jangan-jangan dia bekas pacarnya Andri, yang sakit hati, dan bermaksud menghalang-halangi keseriusan hubungan kami?
Sebelum aku sempat mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu padanya, dia kembali berkata, “Percayalah, Andri itu bukan jodoh yang baik untukmu. Jika kau tetap meneruskan hubungan ini sampai ke jenjang perkawinan, maka kau akan menderita. Kau pasti tidak akan tahan melihat kelakuan Andri. Dia lebih mencintai pasangan sejenisnya daripada dirimu. Bahkan, dia bisa saja berani membawa pasangannya untuk berhubungan intim di tempat tidurmu.”
Aisyah seolah mampu meramal suatu kenyataan yang pada  saatnya nanti aku akan mengalaminya.
“Memangnya kau peramal bisa mengetahui sesuatu yang bakal terjadi di masa akan datang?” tanyaku. Kali ini suaraku berubah agak ketus.
Aisyah menyunggingkan senyumnya. “Terserah, yang penting aku sudah mengatakan apa yang semestinya kusampaikan kepadamu,” katanya dengan nada tenang.
Aku tidak percaya pada apa yang diucapkannya. Bukankah selama aku berhubungan dengan Andri, dia tidak memperlihatkan sifat laki-laki gay? Penampilanya juga biasa-biasa saja seperti laiknya seorang laki-laki normal. Bagaimana aku bisa percaya pada ucapan Aisyah?
“Kalau sudah mengantuk tidurlah. Besok kau harus bangun pagi, bukan?” katanya mengingatkan. Jadwal kuliahku besok memang masuk pukul delapan pagi.
Aisyah tidak segera beranjak ke atas tempat tidur. Dia kulihat menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Dia pun melakukan sholat malam. Bahkan, ketika aku terbanguin dari tidur pukul tiga dini hari, kulihat Aisyah masih duduk di sajadah sambil mengaji. Suaranya terdengar sangat merdu, sampai-sampai aku terlena mendengarnya sehingga mebuatku tertidur kembali. Menjelang tiba waktu sholat Subuh, kembali aku terjaga. Kulihat Aisyah masih duduk mengaji.
“Apa sepanjag malam dia mengaji. Apa matanya tidak mengantuk?” kataku dalam hati, bertanya-tanya.
Tak lama berselang dari menara masjid, berkumandang suara adzan sholat Subuh.
“Kau tidak sholat?” tanya Aisyah melihatku terlihat masih bermalas-malasan di atas tempat tidur.
“Aku sedang datang bulan,” jawabku.
Aisyah maklum. Dia kulihat mengerjakan sholat Subuh. Selesai sholat, dia bersiap-siap hendak meninggalkan tempat kostku. Padahal, ketika itu suasana di luar rumah masih gelap dan hujan gerimis.
“Aku pergi sekarang?” katanya pamitan.
“Hari masih gelap, tunggu sebentar lagi. Biar aku buatkan sarapan dulu!” kataku memintanya agar jangan pergi dulu.
“Aku suda janji pada saudara sepupuku untuk menemuinya pagi-pagi sekali!” jelasnya.
“Jadi tidak sarapan dulu?”
“Tidak. Aku biasa sarapan di rumah saudara sepupuku. Sekarang aku pergi dulu. Terima kasih kau telah memberiku tumpangan tidur!” katanya.
Aku hanya mengangguk. Ah, sebenarnya dia tidak pernah tidur di kamar kostku. Sepanjang malam dia hanya mengaji.
Aku mengantar kepergiannya hingga ke depan rumah. Aku terus mengamatinya hingga dia tiba di depan mulut gang. Sesaat dia berdiri di depan mulut gang, tiba-tiba aku melihatnya seolah menghilang. Aku mengucek-ucek kedua belah mataku, tapi aku tidak melihatnya berdiri di mulut gang.
“Kemana perginya dia?” hatiku diliputi tanda tanya.
Untuk mengobati rasa penasaran, aku bergegas berjalan menuju mulut gang yang hanya berjarak sekitar dua puluh meter dari depan kotsku. Pandangan mataku melihat ke kanan dan ke kiri, tapi aku tidak ada melihatnya. Aisyah hilang misterius dari penglihatan mataku. Aneh, siapa dia sesungguhnya?
“Bang, Apa ada lihat perempuan memakai jilbab lewat sini?” tanyaku pada abang becak yang sejak Subuh sudah mangkal di mulut gang menunggu penumpang.
“Tidak ada, Dik,” jawab abang becak.
Aku ternganga heran.
“Sebelum Subuh, abang sudah mangkal di sini. Baru adik sendiri yang abang lihat berada disini,” tambah si abang becak sambil menatapku heran.
Aku merasa heran, mengapa abang becak ini tidak melihat Aisyah? Kemana perginya dia. Bukankah hanya jalan ini yang bisa dia lalui?
“Memangnya ada sih, Dik?” tanya abang becak.
Aku memaksa tersenyum. “Tidak ada apa-apa. Terima kasih ya, Bang!” kataku sambil buru-buru meninggalkan abang becak yang merasa bingung melihat sikapku.
Hatiku diliputi tanda tanya siapa sebenarnya gadis shaleha bernama Aisyah itu? Sampai sekarang aku tidak menemukan jawabannya. Lalu, apa maksudnya menasehatiku agar jangan meneruskan hubungan cintaku dengan Andri, sebab katanya Andri bukan jodohku? Lalu, siapa jodohku yang sebenarnya? Pada saat itu, pertanyaan-pertanyaan seperti itu menjadi tanda tanya yang tidak bisa kujawab. Nasehat dari Aisyah juga aku abaikan begitu saja. Aku tidak mempercayai ramalannya. Bahkan pertemuanku dengan Aisyah, tidak pernah aku ceritakan pada siapapun juga. Aku tidak ingin ada yang tahu. Jika kuceritakan, pasti mereka tidak percaya. Lebih baik kusimpan saja dalam hati.
Kini aku telah menjadi isteri Andri. Setelah resmi menjadi isteri Andri, aku tetap kuliah seperti biasa. Agar kuliah tidak terganggu dengan kelahiran anak, aku dan suami sepakat menunda kelahiran anak pertama. Aku mengikuti program KB.
Tahun-tahun pertama dan kedua, perkawinanku bahagia. Tapi, memasuki tahun keempat, aku merasakan terjadi perubahan sikap Andri padaku. Dia tidak lagi romantis seperti dulu. Tiap hari, kulihat pergi berdua bersama Roni, mahasiswa yang kos di ujung jalan menuju ke rumahku. Mereka terlihat seperti pasangan kekasih.
Ketika kutanyakan pada Andri tentang hubungannya dengan Roni yang kuanggap tidak wajar, dia malah marah-marah. Karena itulah, pertengkaran antara aku dan suami semangkin sering terjadi, bahkan hampir setiap hari. Puncaknya aku melihat kejadian seperti yang dulu diramalkan Aisyah: “Percayalah, Andri itu bukan jodoh yang baik untukmu. Jika kau tetap meneruskan hubungan ini sampai ke jenjang perkawinan, maka kau akan menderita. Kau pasti tidak akan tahan melihat kelakuan Andri. Dia lebih mencintai pasangan sejenisnya daripada dirimu. Bahkan, dia bisa saja berani membawa pasangannya untuk berhubungan intim di tempat tidurmu.”
Ya, hari itu, saat aku pulang dari berbelanja di pasar, di dalam kamar tidurku, mata kepalaku menyaksikan sendiri Andri sedang berhubungan intim dengan Roni. Melihat adegan yang bagiku sangat menjijikan itu, maka seketika emosiku meledak. Aku mencaci maki mereka dengan kata-kata kotor dan makian yang tidak dapat kukontrol lagi.
Andri bersama pasangan kencannya kabur dari rumah. Sejak kejadian itu, Andri tidak pernah pulang ke rumah. Entah kemana perginya.
Punya suami seorang gay sungguh sangat menjijikan. Karena itulah akhirnya kuputuskan mengajukan gugatan bercerai. Setelah beberapa kali menghadiri sidang, akhirnya hakim mengabulkan permohonan cerai yang kuajukan.
Saat kuceritakan kisah hidupku pada Misteri bulan lalu, aku baru saja menikah dengan seorang duda yang ditinggal mati isterinya. Mas Narto, suami keduaku, orangnya sangat sayang padaku. Dia sangat memanjakanku.
Aku berharap kisah hidupku ini menjadi pelajaran berharga bagi pembaca. Tentang siapa sebenarnya gadis bernama Aisyah itu, hingga kini aku tak bisa menjawabnya. Mungkinkah dia bidadari dari sorga yang sengaja diutus Allah untukku? Ah, rasanya ini terlalu naif. Yang jelas, siapa pun adanya Aisyah, aku patut meminta maaf padanya sebab aku telah menyepelekan semua nasehatnya. Terima kasih sahabatku yang misterius…!





      Sumber : http://www.majalah-misteri.net/suamiku-seorang-gay-oleh-rusdi/

No comments:

Post a Comment